Kamis, 10 Juli 2008

Politik - Panda Nababan

Panda Nababan : Kasih Pancing, Bukan Ikan

Dampak kenaikan BBM, popularitas Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla anjlok. Hasil survai Indo Barometer menyimpulkan, separuh lebih, tepatnya 50,6 persen dari 1.200 orang responden di seluruh Indonesia menyatakan tak menginginkan SBY menjabat sebagai presiden lagi. Di sisi lain, nama Megawati mencuat sebagai sosok presiden pengganti.

Ruangan Kridangga, Hotel Atlet Century Park, Jakarta akhir Juni lalu menjadi saksi hasil survai Indo Barometer (IB) tentang evaluasi publik satu bulan kenaikan BBM beserta dampak sosial politiknya. Data yang dikumpulkan dari responden di 33 propinsi yang dikumpulkan sejak 5 hingga 16 Juni ini memaksa pmerintah harus ‘buka mata’ karena kepercayaan rakyat kian turun pada posisi terendah, dibanding dampak paska kenaikan BBM pada 2005.

Dengan kaus warna merah yang bagian kiri dadanya bergambar banteng, anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Panda Nababan menyambut ramah Biografi Politik. Mantan wartawan yang pernah memenangkan penghargaan jurnalistik, Adinegoro tahun 1976 ini menanggapi hasil survai tersebut dengan bangga. Baginya, hasil tersebut adalah obyektif karena lembaga penyelenggara survai sebagai organisasi netral. “Mereka itu kan netral melihat. Hasil itu dicapai karena sekarang rakyat makin kritis, makin paham tentang keadaan yang ada,” katanya di pelataran ruang masuk.

Pria yang berjuang bersama PDI-P sejak 1993 ini memaparkan, kebijakan pemerintah menaikkan BBM tahun ini berdampak luas bagi masyarakat. Imbasnya, masyarakat mulai membandingkan gaya kepemimpinan yang ada. “Rakyat sekarang sudah melihat dan mulai membandingkan. Kalau saat Mbak Mega jadi presiden selama tiga tahun itu, paling tidak, sudah dirasakan dibandingkan dengan sekarang. Dia bukanlah pemimpin yang cuma duduk-duduk saja, tapi langsung turun ke bawah,” ungkap salah satu pemegang saham majalah Forum Keadilan ini.

Panda menambahkan, Megawati adalah sosok pekerja keras yang memperhatikan kepentingan rakyat seperti dampak kenaikan BBM. Artinya, apa yang dirisaukannya akan terus diperjuangkan. “Kita lihat saja, sewaktu rapat kerja nasional PDI-P di Makasar pada akhir Mei, Mbak Mega menginstruksikan kepada 109 anggota DPR dari Fraksi PDI-P untuk memperjuangkan hak angket sebagai langkah memperbaiki keadaan yang ada,” tutur suami dari Ria Purba ini.

Politisi yang rambutnya mulai banyak uban ini menjelaskan, perjuangan dalam mendapatkan hak angket tersebut sebagai solusi mencapai perbaikan. Sebab, selama ini kesimpangsiuran hal ihwal tentang BBM begitu kental. Pertamina beserta pemerintah terkesan tidak transparan. “Makanya salah satu cara adalah lewat hak angket yang akan menggali jawaban,” tukas ayah tiga anak ini.

Ketika ditanya tentang sejauh mana efisiensi hak angket, Panda mengangguk. Matanya menatap lekat dan dengan suara lantang nan berat, ia mengatakan, hak angket itu sangat efisien sebagai dasar awal perbaikan. “Sekarang jadi pertanyaan kok harga naik, kita belum mendapat keuntungan. Kenapa pula Pertamina tak bisa beli langsung, tapi harus pakai perantara. Bagaimana juga dengan pihak yang mengeksplorasi di Indonesia. Kok biaya produksi atau eksploitasi cost mereka dibebankan sehingga mengurangi kewajiban mereka kepada negara. Itu hanya contoh,” ucapnya.

“Dalam UUD 1945 kan jelas, “ lanjut Panda, “kekayaan negara itu adalah untuk kepentingan rakyat. Tapi kok kita tidak menikmati. Ini kan tragis. Nah, lewat hak angket ini kita ciba menelusuri, mencari jawaban.”

Sedangkan tentang program bantuan langsung tunai (BLT), Panda berolok. Anak yang kedua orangtuanya berprofesi guru ini menganggap BLT sebagai bentuk pembodohan rakyat. “Mbak Mega juga tidak setuju dengan program ini karena tak mendidik rakyat. Seakan rakyat dibentuk untuk jadi pengemis. Sebaiknya, kasihlah pancing, bukan kasih ikannya,” tegas Panda dengan logat Batak yang kental.

Lebih jauh Panda mengungkapkan, seharusnya pemerintah bijak. Bagi pria berkulit sawo matang ini, lebih baik dana program BLT dialokasikan untuk membangun prasarana. Ia mencontohkan, dana BLT bisa dipakai dalam menyukseskan program transmigrasi, misalnya dengan memfasilitasi pembelian lahan dan pembangunan masyarakat transmigrasi di Jawa menuju Kalimantan.

“Kalau sekarang masyarakat terima uang sebesar Rp 100 ribu itu paling cuma buat beli tambahan makan saja. Sebentar juga akan habis. Apalagi, mendapatkan BLT itu harus rebutan. Bayangkan orang antri berjam-jam. Jadi, BLT tidak ada manfaatnya, karena tidak sehat dan tak mendidik. Paling membuat masyarakat bermental pengemis. Padahal, kalau dikalkukasikan jumlahnya besar, mencapai angka triliunan. Sayang harus habis begitu saja,” kata Panda menutup perbincangan. *** RANAP SIMANJUNTAK

Tidak ada komentar: